Read this the short story please ^^
.....
Hujan menyambut malam dengan syahdu, mengalun lembut, bernada seperti bidadari di ujung senja. Memandang hujan bisa menghapus sedikit rasa sakit yang menyelimuti kalbu. Sambil termengu, ku pandangi hujan di balik jendela. Dinginnya angin yang bertiup serasa membuat tulangku menjadi tak berdaya. Tubuhku seperti tanpa roh, tak ada senyum yang terulas. Saat ini pikiranku kacau balau, bagaimana tidak tadi sore ku dapati amplop yang memberitahukan bahwa aku terkena kanker otak. Hal yang selama ini aku takutkan akhirnya terjadi. Lonjakan mimpi-mimpiku untuk mengenyam bangku sekolah hingga menjadi sarjana kini telah usai. Kanker ini perlahan akan menggorotiku dan menghilangkan nyawaku. Aku berontak, aku kesal, aku marah, aku sedih! Mengapa Tuhan menghadiahkan penyakit ini di hari ulang tahunku? Mengapa ya Tuhan? Apa salahku? Sempat berpikir bahwa Tuhan itu tidak adil, namun aku sadar ada hikmah dibalik semua ini. Sekarang aku hanya dapat berdenyut dalam diam menerima pahitnya kenyataan hidup yang menjadi kado terpahit di hidupku.
Sudah hampir jam 12.00 malam, mataku tak bisa tertutup. Berulang kali aku berusaha memejamkannya, tapi sayang itu semua sia-sia.
"Apakah besok pagi Dira bisa membuka mata kembali, Tuhan? Apakah umur Dira masih panjang?" ucap Dira setengah berbisik sambil mengeluarkan air mata.
Dira takut kalau dia tidak bisa bangun dari tidurnya. Tapi karena rasa lelah dan ngantuk akhirnya Dira tertidur ditemani Eca, boneka berbentuk sapi yang berwarna merah sekaligus boneka kesayangan Dira. Dira tertidur di bawah hangatnya selimut.
"Wah sudah pagi. Ka Winda ke mana ya? Tumben gak ngebangunin aku." tanya Dira.
Dira beranjak dari tempat tidur lalu membuka jendela. Sudah beberapa hari Dira tidak masuk sekolah karena dia harus beristirahat di rumah. Dira sudah bisa menerima dan menelan ludah penyakir itu. Dira menganggap penyakit ini sebagai teman kematian. Teman yang sudah menyatu dengan jiwanya. Setelah membuka jendela, Dira kembali ke tempat tidur dan dengan kagetnya dia melihat helaian rambutnya yang berserakan di atas bantal.
"Ya Tuhan, helaian rambutku..helaian rambutku." ssmbil mengambil helaian rambut disertai isak tangis.
Helaian rambut itu terus saja terlepas setiap harinya hingga kepala Dira gundul. Dira sangat sedih. Di saat seperti ini, Dira hanya bisa bersedih. Ayah dan ibu Dira sudah meninggal 2 tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Dan dia sekarang hidup bersama kakaknya, Kak Winda. Kak Winda sudah bekerja di sebuah perusahaan terbesar di Indonesia. Perusahaan itu milik ayahnya, dan ia meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai direktur utama sejak 1 tahun yang lalu. Meskipun sibuk, Kak Winda selalu memperhatikan adik kesayangannya itu
"Dira!" suara Asti, Dana, dam Tita yang sejak tadi menunggu Dira di ruang tamu.
"Iya. Hai teman-teman." sahut Dira yang keluar dari kamar setelah bi Inah memanggilnya.
"Bagaimana kabarmu, Ra? Kami kangen banget sama kamu. Kangen becandaan sama kamum terus kangen ditraktir sama kamu juga. Hehe" kata Tita ceplas-ceplos.
"Hus Tita! Dira lagi sakit tau. Kamu ini gimana sih!" Dana mencubit tangan Tita.
"Aduh! Sakit tau! Aku kan cuma becanda! Bwek!" jawab Tita.
"Sudah, sudah. Kalian ini kaya anak kecil saja. Kita kan mau ngejenguk Dira, bukan mau bertengkar di sini" Ucap Asti.
"Oh bener juga. Hehe. Gimana keadaan kamu, Ra?" tanya Dana.
Dira yang sedari tadi senyam-senyum sendiri melihat tingkah laku sobatnya tersebut dikagetkan suara Dana.
"Eh, apa? hm iya aku baik-baik aja kok. Hehe" jawab Dira.
"Sabar ya Ra, aku tau ini berat buat kamu. Tapi kami selalu ada di sini kok buat kamu. Kita kan BEFO!! Best Friend Forever!" ucap Tita dengan semangat '45 yang menjadi-jadi.
Kontan semuanya pun tertawa mendengar suara Tita yang cemprengnya melebihi suara panci (?) haha
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap, kepala Dira pusing, dan seketika dia pingsan. Refleks, teman-temannya kaget dan memanggil bi Inah. Tak lama kemudian Dira dibawa ke rumah sakit.
Isak tangis tak henti-hentinya terdengar dari mulut Asti, Tita, dan Dana. Mereka sedih dan khawatir melihat Dira. Kak Winda yang dari tadi mondar-mandir menunggu dokter di ruang UGD juga tak kalah khawatirnya.
"Permisi, keluarga Dira yang mana?" tanya dokter yang menangani Dira.
"Saya dok, bagaimana keadaaan adik saya?" Kak Winda menuju ke arah dokter.
"Maaf, kami sudah berusaha. Tapi semuanya sudah ada yang mengatur....." belum sempat menyelesaikan pembicaraan, Kak Winda langsung memotong pembicaraan dokter tersebut.
"Bagaimana keadaan adik saya, Dok? Bagaimana?" tangis Kak Winda pecah.
"Kami tidak bisa menolong adik anda, Dira sudah tiada. Dia sudah menghadap yang maha Kuasa" ucap dokter dengan nada sedih.
"APA?? Tidak mungkin! Dira!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" tangis Kak Winda menjadi-menjadi.
Kini, Dira sudah tiada dan meninggalkan kita semua. Dira dan kenangannya takkan terlupakan. Namun, Dira melupakan satu hal. Seharusnya dia tidak tidur dipelajarannya Bu Monik, guru yang super duper galak.
"Dira!!!!!!! Ayo bangun! jangan tidur waktu ibu menjelaskan!" Bu Monik marah karena Dira ketiduran di kelas.
"Eh iya bu, maaf. Dira gak sengaja. Hehe" jawab Dira sambil menggaruk kepala.
"Sekarang berdiri di depan kelas!" suruh Bu Monik kepada Dira.
Dira maju ke depan kelas dan berdiri sampai pelajaran Bu Monik selesai.
Batin Dira menaruh rasa lega, karena kanker otak, meninggalkan orang-orang yang ia sayangi cuma mimpi.
"Tuhan, terima kasih atas semuanya. Dira bersyukur itu semua hanya mimpi. Dira masih ingin hidup dan membahagiakan orang-orang yang ada di sekitar Dira." batin Dira
No comments:
Post a Comment